Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah:
  1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).
  2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
  3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).
  4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :
Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.

Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut:
  • Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.
  • Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab.
  • Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.

Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal (sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu menimbulkan kerugian.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :
  • Perbuatan itu harus melawan hukum

Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu “perbuatan” dan “melawan hukum”. Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain “melawan hukum” merupakan kata sifat, sedangkan “perbuatan” merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu “perbuatan” yang sifatnya “melawan hukum”, maka terciptalah kalimat yang menyatakan “perbuatan melawan hukum”.

Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu “perbuatan”, untuk jelasnya telah diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
  • Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”.

Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.

Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :
  1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya.
  2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya : Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.

Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada pendapat yang mengatakan:

Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.”

Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk diteliti.
  • Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum (onrechtmatigedaad).

Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.

Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut dinyatakan telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud pernyataan di atas.

Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa “kesalahan itu dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja”. Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan kepadanya.

Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.
  • Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.

Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan.

Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu maupun secara kelompok dalam masyarakat.

Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang merupakan peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan.

Hal ini sesuai dengan pendapat atau teori yang dikemukakan oleh Von Buri, yaitu:

Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.”

Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah:
Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu:
  1. Perbuatan.
  2. Melanggar.
  3. Kesalahan.
  4. Kerugian.

Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum.

Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.

Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.