Dasar Hukum Hak Ex Officio Hakim dalam Perkara Cerai Talak

SUDUT HUKUM | Hakim sebagai penjelmaan dari hukum, wajib menegakkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah perubahan sosial masyarakat. Pada perkara cerai talak,hakim dapat memutuskan lebih dari yang diminta karena jabatannya. Hal ini berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh hakim dalam memutuskan perkara yang dinamakan dengan hak ex officio. Dasar hukum mengenai hak ex officio diatur dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri “. Berdasarkan pasal tersebut, kata “dapat” ditafsirkan “boleh” secara ex officio, yang memberi ruang kepada hakim untuk menetapkan mut’ah dan nafkah ‘iddah, sebagai bentuk perlindungan hak mantan istri akibat perceraian.

Sebagaimana dalam perkawinan memuat hak dan kewajiban antara suami dan istri, demikian juga jika terjadi perceraian maka ada akibat hukum darinya. Salah satu akibat dari tejadinya perceraian adalah istri menjalani masa ‘iddah yaitu suatu masa bagi seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafat suaminya atau bercerai dengan suaminya. Hukum ‘iddah adalah wajib bagi perempuan yang ditalak suaminya. Akibat dari perceraian khususnya cerai talak bagi suami adalah wajib memberikan mut’ah dan nafkah ‘iddah bagi istrinya yang dijatuhi talak dengan syarat istri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang dapat menghalangi nafkah.

Dalam hal nafkah ‘iddah ini sangat penting bagi suami untuk memberikannya kepada mantan istri agar tidak terlantar dalam menjalani masa ‘iddah yang diwajibkan oleh agama kepadanya. Sedangkan mut’ah adalah harta yang diberikan kepada mantan istri sebagai pemberian dari mantan suami sewaktu ia menceraikan istrinya. Jumlah atau pemberiannya berdasarkan kemampuan suami dan atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak.

Pasal 41 huruf (c) ini sebagai bentuk perlindungan hak mantan istri akibat cerai talak. Pasal ini menentukan kewajiban kepada mantan suami untuk memenuhi mut’ah dan nafkah ‘iddah kepada istri setelah tejadinya perceraian. Hak ini dikarenakan ketentuan Pasal 41 huruf (c) merupakan lex spesialis, maka hakim karena jabatannya tanpa harus ada permintaan dari pihak istri, dapat menghukum dalam putusan tersebut kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya perceraian yang adil, serta peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Selain pasal tersebut, ketentuan hukum mengenai hak ex officio hakim juga di atur dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa:
  • Memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istri, baik berupa uang maupun benda, adapun besarnya mut’ah ini disesuaikan dengan kepatutan atau kelayakan dan kemampuan mantan suami;
  • Memberikan nafkah ‘iddah, tempat tinggal dan pakaian kepada mantan istri selama dalam masa ‘iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
  • Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya atau sebagian apabila qabla al dhukhul;
  • Memberikan biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun. Biaya pemeliharaan anak tetap kewajiban suami meskipun telah terjadi perceraian dengan ibunya.

Kemudian dalam Pasal 152 KHI juga dijadikan sebagai pedoman untuk hakim dalam menerapkan hak ex officio nya, yaitu mengenai nafkah ‘iddah yang diberikan kepada mantan istri setelah perceraian, pasal tersebut berbunyi: “Bekas istri berhak mendapatkan nafkah ‘iddah dari bekas suami kecuali ia nusyuz”.

Selain pasal-pasal tersebut, pedoman hakim dalam menerapkan hak ex officio juga terdapat dalam keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, ditentukan sebagai berikut: “Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah ‘iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyuz dan menetapkan kewajiban mut’ah. Keputusan Mahkamah Agung ini merupakan keputusan administratif yang bersifat individual dan konkrit, berbeda halnya dengan peraturan yang sifatnya general dan abstrak (keberlakuannya di tujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung di atas, meskipun mantan istri tidak mengajukan gugat nafkah ‘iddah, Majelis Hakim tetap memberikan nafkah ‘iddah, karena dikhawatirkan apabila nafkah ‘iddah tersebut tidak diberikan akan membawa kemudharatan bagi mantan istri ketika sudah terjadi perceraian. Meskipun dalam Pasal 189 ayat (3) Rechtstregrement Buitengewesten (RBg) dijelaskan “Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut”. Pada pasal tersebut tidak berlaku secara mutlak dan tidak untuk dijadikan landasan hukum karena pada asasnya hakim bersifat aktif di dalam persidangan dan selalu berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Hal ini selaras dengan putusan Mahkamah Agung Tanggal 4 Februari 1970 bahwa “Pengadilan Negeri boleh memberi putusan melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya” dan putusan Mahkamah Agung Tanggal 8 Januari 1972 juga berpendapat bahwa “mengabulkan hal yang lebih daripada yang digugat tetapi masih sesuai dengan kejadian materiil diizinkan.21 Apabila suatu perkara diputuskan oleh Hakim melebihi dari yang dituntut, maka putusan tersebut diperbolehkan asalkan tidak keluar dari hukum materiil perkara tersebut.