Tujuan Perkawinan

SUDUT HUKUM | Tujuan perkawinan dapat dipahami dari ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (sekaligus juga merupakan unsur penting lainnya) yang menegaskan bahwa “… dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  • Membentuk keluarga, artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari atas suami, isteri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami isteri dan anak-anak dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman keluarga bersama yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak (A. Muhammad, 2010: 85).
  • Bahagia artinya ada kerukunan yang menciptakan rasa tenteram, damai dan saling menyayangi tanpa saling mencurigai. Kebahagiaan umumnya dapat mewujudkan keluarga sejahtera. Sejahtera artinya cukup kebutuhan ekonomi, pendidikan dan hiburan yang diperoleh dari hasil pekerjaan (profesi) yang layak bagi kehidupan keluarga suami dan atau isteri, boleh melaksanakan pekerjaan apa saja sebagai sumber kesejahteraan keluarga, asalkan tidak dilarang undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
  • Kekal artinya sekali perkawinan dilaksanakan, berlangsung terus tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan yang kekal tidak mengenal jangka batas waktu, kecuali jika salah satu pihak meninggal dunia. Perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan pada niat yang bersifat sementara disebut perkawinan kontrak (A. Muhammad, 2010 : 85). Undang-undang perkawinan tidak mengenal perkawinan kontrak karena bertentangan dengan unsur “kekal” ini. Jika perkawinan yang demikian tetap dilangsungkan maka perkawinan dapat dibatalkan.
  • Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, tetapi harus diyakini sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan secara beradab pula sesuai dengan adat peradabannya dan ajaran agamanya.

Menurut Salim (2009 : 62), unsur perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal ber-Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu berlangsung seumur hidup, cerai diperlukan syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir dan suami isteri membantu untuk mengembangkan diri. Keluarga dikatakan bahagia bila dipenuhi dua kebutuhan pokok yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani yaitu kebutuhan akan papan, sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan, sedangkan kebutuhan rohani berupa adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.