Sengketa Pemilukada Menurut Hukum

Pengertian sengketa atau hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan kata lain adalah persengketaan yang timbul akibat adanya upaya hukum berupa keberatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diputuskan dan diumumkan dalam sidang pleno lengkap dan telah diterbitkan pula dalam keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku penyelenggara pemilihan umum daerah. Dengan demikian, sengketa pemilihan kepala daerah baru timbul setelah terbitnya keputusan/penetapan KPUD selaku penyelenggara pemilihan umum di daerah.

Ciri khas sengketa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yaitu, adanya perbedaan pendapat atau interpretasi terhadap suatu objek, bisa jadi sebenarnya hal perbedaan pendapat yang disengketakan tersebut adalah salah satu dari pelanggaran pidana atau administratif, tidak jarang persengketaan yang ada akhirnya terbukti adanya unsur pelanggaran dan berakibat diberikannya sanksi.

Jika sengketa dapat diselesaikan dan oleh para pihak dapat dimaklumi maka akan tercapai perdamaian tetapi sebaliknya apabila diantara para pihak tidak terjadi perdamaian, maka proses penyelesaian sengketa akan terus berlanjut dan dapat bermuara pengusutan pelanggaran sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi apabila diantara para pihak terdapat perselisihan mengenai penetapan hasil suara pemilihan kepala daerah yang diumumkan oleh KPUD.

Riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyimpulkan permasalahan dalam kerangka hukum pada penyelenggaraan Pemilukada Tahun 2005 sampai dengan 2014 menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakjelasan bagi penyelenggara maupun peserta Pemilukada. Peraturan yang ambigu serta multitafsir berkontribusi pada rentetan persoalan dalam penyelenggarakan tahapan Pemilukada, sebut saja masalah daftar pemilih, kisruh pencalonan, kampanye yang tidak terkontrol, pemungutan dan penghitungan suara yang bermasalah hingga terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.

Beberapa konflik horizontal dalam Pemilukada disebabkan dua hal, Pertama, adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika pasangan calon gugur dalam tahap pencalonan. Kedua, adanya rasa ketidakpuasan pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pemilukada. Achmad Sodiki menjelaskan, Mahkamah Konstitusi memaknai Pemilukada adalah rangkaian proses yang dimulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir yang membuahkan suatu hasil Pemilukada.

Berangkat dari pemikiran tersebut, Mahkamah Konstitusi memperluas penafsiran tentang kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada termasuk juga mengadili proses-proses Pemilukada termasuk proses pencalonan, pemutakhiran daftar pemilih, pelanggaran pada saat kampanye, money politik, intimidasi, keterlibatan birokrasi, dan lain sebagainya. Disisi lain putusan berbeda dapat dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menilai proses secara keseluruhan pelaksanaan Pemilukada sudah berjalan sesuai dengan asas-asas dan peraturan perundang-undangan.

Gambaran fakta-fakta penyelesaian sengketa Pemilukada yang terjadi di atas, sesungguhnya ada kekaburan dalam konstruksi peraturan perundangundangan yang mengatur penyelesaian sengketa Pemilukada sehingga berdampak adanya ketidakpastian hukum, kebingungan penyelenggara Pemilu, serta pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalitas bakal calon atau calon peserta Pemilukada. Pengaturan penyelesaian sengketa administrasi Pemilukada yang menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mengatur batas waktu penyelesaian sengketa, kondisi itu membuka peluang terjadinya putusan diucapkan setelah melewati tahapan pemungutan suara maupun tahapan penyelesaian sengketa hasil Pemilukada di Mahkamah Konstitusi bahkan setelah pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilantik.

Disisi lain Mahkamah Konstitusi terikat oleh waktu untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilukada sehingga tidak bisa menunggu proses penyelesaian sengketa administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara sampai selesai. Begitu halnya dengan pemberian kewenangan penanganan pelanggaran administrasi kepada Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota hanyalah bersifat rekomendasi sehingga membuka peluang KPU untuk tidak melaksanakannya. Pemilukada menggunakan tiga tahapan yang meliputi tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Tahapan Pemilukada dituangkan dalam keputusan KPU, keputusan tersebut bersifat mengikat ke luar dan ke dalam, bersifat mengikat keluar dalam artian keputusan tersebut mengikat KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai penerbit keputusan, sedangkan bersifat mengikat kedalam, keputusan tersebut mengikat masyarakat, partai politik, calon peserta
Pemilu, dan pihak terkait lainnya.

Tahapan, program dan jadwal Pemilukada yang ditetapkan KPU berpengaruh terhadap kapan sengketa administrasi dan hasil Pemilukada akan terjadi. Semakin singkatnya waktu antara tahapan yang berpeluang terjadinya sengketa administrasi dengan tahapan hari dan tanggal pemungutan suara atau tahapan penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada, semakin terbuka peluang sengketa administrasi selesai setelah tahapan perselisihan hasil Pemilukada selesai dilakukan di Mahkamah Konstitusi.