Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

SUDUT HUKUM | Majelis Ulama Indonesia dalam Pedoman Penetapan Fatwanya nomor U-596/MUI/X/19974 yang telah diputuskan pada 18 Januari 1986 M, tentang pencabutan pedoman tata cara penetapan fatwa dan menggantinya dengan pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang baru.

Dengan melihat dianamika masyarakat yang tejadi di Indonesia terasa sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta tingginya intensitas relasi sosial dengan masyarakat antar bangsa, sebagai sebuah dari dinamika dan perubahan masyarakat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan kini hal itu menjadi kenyataan.

Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia


Di sisi lain, tanpa disadari keberagamaan umat Islam di bumi nusantara ini semakin tumbuh subur. Sehingga sudah merupakan suatu kewajaran dan keniscayaan jika banyak sekali maslah aktual muncul yang beririsan dengan problematika hukumIslam, untuk itu umat berhak mendapatkan jawaban yang tepat dari pandangan ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, para alim ulama ditunutut untuk memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan permasalahan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT

sesungguhnya oarng yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (QS. Al-Baqarah : 159)

Dalam rangka merespon berbagai masalah keagamaan aktual, baik dalam lingkup nasiaonal maupun internasiaonal maka Majelis Ulama Indonesia menyediakan sebuah forum periodik yang bersifat naisonal, lintas kelompok, dan merepresentasikan seluruh pandangan keagamaan dalm umat Islam Indonesia, untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.

Forum tersebut adalah Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, disamping untuk menjawab masalah-masalah aktual keagamaan (masail diniyyah mu’ashirah), juga dalam rangka peneguhan posisi Komisi Fatwa, baik dipusat maupun di daerah dan ajang musyawarah bersama lembaga fatwa organisasi kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini, juga memberi ruang partisipasi komisi fatwa daerah, serta lembaga-lembaga organisasi masyarakat (ormas), ulama pesantren dan cendekiawan perguruan tinggi Islam.

Respon positif muncul dari berbagai pihak atas pelaksanaan ijtima’ ulama tersebut. Di samping itu, secara internal, forum tersebut juga dapat berfungsi sebagai wahana koordinasi dan silaturrahmi antar komisi fatwa MUI dari berbagai daerah serta lembaga-lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat. Pelibatan peserta yang luas dan lintas golongan ini diharapkan agar setiap hasil ijtihad para peserta yang terumuskan dalm keputusan ijtima’ dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan benarbenar menjawab apa yang sednag dibutuhkan oleh masyrakat dan bangsa ini.

Beberapa hal di atas melatarbelakangi terbitnya pedoman penetapan fatwa ini. Pedoman Penetapan Fatwa ini berisi sembilan pasal. pasal 1 berisi ketentuan umum yang menjelaskan beberapa peristilahan yang perlu didefinisikan secara khusus, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman akibat dari definisi yang berbeda.

Pasal II berisi dasar-dasar umum penetapan fatwa yang menggambarkan prosedur dasar dari penetapan fatwa. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap putusan harus mempunyai dasar dari Kitabullah dan sunnah rasul yang mu’tabarah, dan tidak bertentangan dengan maslahat umat. Bila tidak ditemukan, maka diupayakan jawabannya melalui ijtihad, dengan catatan : tidak bertentangan dengan Ijma’, Qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsān, Maslahah mursalah, dan Sadd al-Zarī’ah. Sebelum fatwa diputuskan, pendapat mazhab-mazhab terdahulu dengan dalil-dalil hukumnya juga perlu ditinjau dan diperhatikan, di samping pendapat para ahli.

Pasal 3, 4, dan 5 berisi prosedur penetapan fatwa. Pasal 3 merupakan gambaran dari sikap MUI ketika menghadapi suatu masalah. Dalam hal ini, ketika MUI mendapat sebuah masalah, maka masalah itu akan dikaji oleh anggota komisi atau tim khusus paling lambat seminggu sebelum disidangkan. Bila masalah itu sudah dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah, maka tidak dianggap perlu adanya fatwa; tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat, maka perlu ada fatwa tarjīh dari antara pendapatpendapat itu dengan menggunakan kaidah-kaidah perbandingan yang terdapat dalam fiqh muqaran. Pasal 4 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, bila setelah kajian mendalam dan komprehensif serta mempertimbangkan berbagai pendapat yang berkembang dalam sidang, fatwa siap ditetapkan. Pasal 5 merupakan gambaran tentang bagaimana dan apa saja yang harus dituangkan dalam sebuah surat keputusan fatwa.

Menurut pasal ini, fatwa harus ditandatangani oleh Dewan Pimpinan, harus dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, fatwa disertai uraian dan analisis secara ringkas, juga sumber pengambilannya. Tindak lanjut, solusi, dan rekomendasi juga dituangkan dalam keputusan fatwa bila mana perlu.

Pasal 6 mengatur masalah sidang komisi dan tata cara penyelenggaraannya. Menurut pasal ini, sidang omisi harus dihadiri oleh anggota yang jumlahnya dianggap memadai oleh ketua komisi. Sidang komisi diadakan jika permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, LSM, atau MUI sendiri yang oleh MUI dianggap perlu pembahasan dan difatwakan.

Pasal 7 menjelaskan kewenangan dan hierarki MUI Pusat dan daerah. MUI Pusat berwenang mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional, sedangkan MUI daerah hanya membahas dan mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang ada di daerahnya. Sebelum mengeluarkan fatwa, MUI daerah harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI Pusat. Penentuan klasifikasi masalah dilakukan oleh tim khusus.

Pasal 8 dan 9 adalah pasal penutup. Pasal 8 mengatur masalah kedudukan fatwa MUI Pusat dan daerah. Keduanya memiliki derajat yang sama dan tidak saling membatalkan. Bila mana terjadi perbedaan, maka kedua dewan pimpinan segera mengadakan pertemuan untuk mencari penyelesaian yang paling baik. Sedangkan pasal 9 mengatur kemungkinan adanya aturan tambahan dalam hal yang belum diatur dalam pedoman ini. Di samping itu, juga mengatur masa berlaku pedoman ini.

Dari apa yang dipaparkan di atas, MUI hanya menyebutkan bahwa metode ijtihad yang dilakukan ketika MUI mendapatkan sebuah masalah, maka akan mencarinya dalam ayat al-Quran, al-sunnah, dan seterusnya sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.