Pengertian Kalalah

SUDUT HUKUM | Kalalah berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf-huruf kaf dan lam yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja kalla. Menurut Ibnu Faris, makna dasar kata ini berkisar pada tiga hal, yaitu, tumpul (lawan tajam), melingkari sesuatu dengan sesuatu, dan salah satu organ tubuh (dada). Makna yang pertama, seperti ungkapan kalla as-saifu (pedang itu menjadi tumpul)), dan kalil (pedang tumpul). Untuk makna yang kedua, seperti iklil (yang berarti ikat kepala). Selain tiga makna ini, Sayyid Thanthawi, memberikan makna lain lagi, yaitu hilangnya kekuatan karena lelah. Makna ini disimpulkannya dari syair Al-A’sya yang mengatakan: alaitu la urtsilaha min kallin yang maksudnya: saya jadi tidak meratapinya lagi karena lelah. Demikianlah, makna dasar dari kata kalalah.

Adapun secara terminologis, seperti diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya, Al-Kasyyaf, kata kalalah mencakup tiga hal, yaitu: pertama, orang yang mati tanpa meninggalkan anak dan bapak, kedua, ahli waris selain anak dan bapak, ketiga, kerabat yang tidak berasal dari jalur anak dan bapak. Kerabat demikian, dinamakan kalalah karena pertaliannya dengan pewaris lemah atau tumpul (tidak tajam). Atau karena mereka mengelilingi pewaris dari tepian, bukan dari tengah. Seperti ikat kepala yang melingkari tepian kepala sedang tengah-tengahnya kosong.

Imam Malik dalam al-Muwatta’ berpendapat bahwa saudara kandung, saudara tiri dari pihak ibu maupun dari pihak ayah tidak mewarisi apapun jika ada anak ataupun cucu dari anak laki-laki, baik cucu laki-laki maupun cucu perempuan. Dan mereka tidak mewarisi apa pun jika ada bapak ataupun kakek. Imam Malik berkata:

Yang biasanya disetujui di antara kita adalah saudara-saudara tiri dari pihak ibu tidak mewarisi apapun jika ada anak ataupun cucu dari anak laki-laki, baik (cucu) lakilaki ataupun perempuan. Mereka tidak mewarisi apapun jika ada bapak ataupun kakek. Mereka mewarisi apa yang ada di luar itu.

Pendapat yang masyhur di antara sekian pendapat para ahli tentang arti kalalah ialah seorang yang meninggal dunia dengan keadaan tiada meninggalkan bapak dan anak. Pendapat tersebut berpegangan kepada atsar dari sahabat Abu Ishaq yang membenarkan suatu pertanyaan yang pernah dikemukakan padanya. Kata penanya kepada Abu Ishaq:

Dikabarkan oleh Manshur ibn Abi Muzahim, berkata: dikabarkan oleh Abu Bakar, dari Abi Ishaq, dari Bara’ ibn ‘Azib berkata: seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW dan berkata: Hai Rasulullah ayat {yastaftunaka fil kalalah} apa arti kalalah itu? Nabi bersabda: kembalilah kepada ayat pusaka (harta waris). Maka saya berkata kepada Abi Ishaq: ”Benarkah kalalah itu ialah seorang yang mati yang tidak meninggalkan anak dan bapak? Jawab Abu Ishaq: ”Ya, demikianlah faham orang-orang”. (Rw. Abu Dawud).

Menurut Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, kalalah artinya hawasyi dan yang mewarisi harta kalalah adalah hawasyinya, karena ia tidak memiliki anak (furu’ ke bawah) baik laki-laki maupun perempuan dan orang tua (ayah, ashl ke atas). Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan Fuqaha’ sependapat bahwa yang dimaksud dengan kalalah ialah tiadanya empat golongan keluarga yang telah disebutkan yaitu ayah, kakek, anak dan cucu baik laki-laki maupun perempuan.

Bagaimana dengan ibu? Apakah ibu dapat menghalangi ahli waris pada kasus kalalah? Adapun untuk ibu maupun nenek, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, mereka (ibu dan nenek) tidak menghalangi saudara-saudara dalam menerima warisan

Ada juga yang berpendapat bahwa kalalah adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak lagi mempunyai ibu bapak dan tidak mempunyai anak.

Berdasarkan pendapat di atas, ada perbedaan pendapat terkait dengan pengertian kalalah. Hal ini wajar, karena Nabi Muhammad SAW tidak memberikan keterangan yang jelas pada kasus kalalah sehingga menimbulkan banyak penafsiran. Dari sekian pendapat di atas, pendapat para ulama yang paling kuat bahwa kalalah itu adalah seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki anak dan ayah.

Rujukan:

  • Sunan Abi Dawud, Juz 2, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996),
  • Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tas-hiilul Faraa-idh (Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih Terj. Abu Ihsan al-Atsari), (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008),
  • Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Analisa Fiqh Para Mujtahid diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Usmani, 2007).
  • Imam Malik bin Anas, Al-Muwatta’, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989),
  • Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987).
  • M. Quraish Shihab (ed.) et al, Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta Lentara Hati, 2007).