Prosedur Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi

SUDUT HUKUM | Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua siding yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana dan ditandatangani sendiri oleh terhukum atau atas namanya kepada Presiden.

Pengajuan permohonannya hanya dapat diajukan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010. Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Panitera wajib membuat Akta Penerimaan salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta permohonan Grasi dikirim ke Mahkamah Agung. Apabila Permohonan Grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan permohonan Grasi. Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hati terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada :
  • Mahkamah Agung;
  • Pengadilan yang memutus perkara pada tingat pertama;
  • Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
  • Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Tata cara pengajuan Grasi melalui jalur Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor : M-01.PS.01.03 Tahun 2000 yaitu:
  • Surat permohonan dibuat oleh narapidana atau pihak lain selaku kuasa narapidana yang bersangkutan paling lambat 4 (empat) bulan sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan yang ditujukam kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Perundang-Undangan.
  • Setelah Kepala Lapas menerima surat permohonan, kemudian segera memerintahkan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah untuk melakukan sidang dalam membahas permohonan beserta data pendukung narapidana yang bersangkutan. Data pendukungnya yaitu:

  1. Salinan (Daftar F) yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama 5 (tahun) menjalani pidana yang dibuat Kepala Lapas;
  2. Salinan Vonis Asli atau fotokopi yang disahkan oleh Kepala Lapas;
  3. Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas);
  4. Fotokopi Kartu Pembinaan; dan
  5. Surat Kuasa apabila surat permohonan dibuat oleh pihak lain selaku kuasa narapidana.

  • Kepala Lapas setelah menerima saran atau pertimbangan TPP Daerah maka dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya permohonan segera meneruskan permohonan disertai data pendukung kepada Kepala Kantor Wilayah.
  • Kepala Kantor Wilayah menyetujui usul Kepala Lapas segera meneruskan permohonan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan lengkap dengan data pendukung dan hasil sidang TPP Wilayah.
  • Dalam hal Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul Kepala Lapas maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam jangka waktu paling lambat 28 hari sejak diterimanya usul dari Kepala Kantor Wilayah segera meneruskan usul tersebut kepada Menteri Hukum dan Perundang-Undangan kemudian meneruskan permohonan kepada Presiden dengan disertai pertimbangannya.

Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:
  1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
  2. Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan;
  3. Kepala Kantor Wilayah;
  4. Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara;
  5. Kepala Kejaksaan Negeri yang menuntut;
  6. Kepala Lapas tempat narapidana menjalani pidana; dan
  7. Hakim Pengawas dan Pengamat yang bersangkutan.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 Ayat (2) jo. Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2002, keputusan yang dapat diberikan atau dijatuhkan Presiden terdiri dari:
  • Pengabulan atau pemberian grasi

Jika keputusan yang diberikan Presiden adalah mengabulkan permohonan grasi pemohon, maka klasifikasi bentuk grasi yang dapat diberikan Presiden, merujuk pada Pasal 4 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, yang terdiri dari:
  1. peringanan atau perubahan jenis pidana;
  2. pengurangan jumlah pidana; atau
  3. penghapusan pelaksanaan pidana.

Jadi Presiden melalui hak prerogatif yang diberikan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk:
  1. memperingan atau mengubah jenis pidana dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, maupun mengubah jenis pidana penjara menjadi pidana denda;
  2. mengurangi jumlah pidana dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 atau 15 tahun dan sebagainya;
  3. menghapuskan pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga terhadap terpidana tidak dilakukan eksekusi yang diperintahkan. Dalam hal ini pidananya tidak diubah atau dikurangi, tetapi eksekusi putusannya yang dihapuskan dan ditiadakan.

  • Menolak Permohonan Grasi

Bentuk keputusan kedua yang dapat diberikan Presiden menurut Pasal 4 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 adalah menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana. Kewenangan ini merupakan kebalikan dari hak mengabulkan permohonan grasi.Putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan tetap keadaannya seperti semula, apabila permohonan grasi ditolak.