Masyarakat Hukum Adat

SUDUT HUKUM | Secara teori, terdapat beberapa sarjana yang memberikan pengertian terhadap istilah masyarakat hukum adat, namun tidak ada keseragaman pemakaian istilah di antara para sarjana tersebut. Ada yang mengistilahkannya dengan “masyarakat hukum”, “masyarakat hukum adat”, dan “persekutuan hukum”. Dalam penelitian ini digunakan istilah “masyarakat hukum adat”.

Berikut ini dipaparkan beberapa pengertian masyarakat hukum adat menurut para sarjana.
  • Ter Haar (dalam Muhammad, 1988:30) memberi istilah dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum, yakni kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasapenguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud.
  • Bushar Muhammad (dalam Ginting, 2010:155) memberikan pengertian masyarakat hukum adat (adatrechtsgemenschap), yakni masyarakat hukum yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan, bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama ataupun berasal dari satu tanah tempat bermukim yang sama.
  • Hazairin (dalam Setiady, 2013:76) memberikan pengertian masyarakat hukum adat, yakni kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum; kesatuan penguasa; dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
  • Saragih (1984:67) menyebut dengan istilah persekutuan hukum, yakni sekelompok orang-orang yang terikat sebagai satu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik berujud maupun tidak berujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu.

Secara yuridis formal, pengertian masyarakat hukum adat tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yakni sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3).

Mengacu pada pendapat para sarjana di atas, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur yang menjadi ciri dari masyarakat hukum adat, yakni:
  1. kelompok manusia yang teratur dan terikat oleh kesamaan keturunan (genealogis) atau kesamaan wilayah (teritorial);
  2. menetap di wilayah/daerah tertentu (mempunyai wilayah);
  3. mempunyai aturan hidup bersama berupa hukum adat;
  4. mempunyai penguasa/pemimpin dan kelembagaan adat; dan
  5. mempunyai kekayaan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Menurut Sumardjono (2007:56), ciri pokok masyarakat hukum adat yakni merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perseorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu.

Menurut Saragih (1984:67-70), ada dua faktor pengikat anggota persekutuan hukum yakni genealogis dan territorial, yang selanjutnya menghasilkan tiga tipe pokok persekutuan, yakni persekutuan hukum genealogis, territorial, dan genealogis-teritorial. Pada masyarakat genealogis terdapat dua macam persekutuan, yakni unilateral dan bilateral/parental, dan ditambah satu bentuk khusus, yakni alternerend (berganti-ganti).

Pada masyarakat unilateral, anggota-anggotanya berdasarkan garis keturunan satu pihak, yaitu pihak ayah atau pihak ibu. Jika garis keturunan dari pihak ibu, maka masyarakat tersebut adalah masyarakat matrilineal, dan jika garis keturunan dari pihak ayah, maka masyarakat tersebut adalah masyarakat patrilineal. Selanjutnya, pada masyarakat bilateral, anggota-anggotanya menarik garis keturunan baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, sedangkan pada masyarakat alternerend, anggota-anggotanya menarik garis keturunan berganti-ganti mengikuti bentuk perkawinan orang tuanya.