Akal dan Wahyu

Dalam khazanah hukum Islam, perbicangan tentang akal dan wahyu merupakan lahan yang cukup banyak mendapat perhatian dan pembahasan. Pembahasan ini dilakukan oleh ulama dalam berbagai bidang keilmuan, baik teologi, filsafat, maupun hukum Islam itu sendiri. Tujuan penggunaan wahyu dan akal adalah untuk mendapatkan kebenaran.

Akal dan Wahyu


Kata Akal mempunyai pengertian mengerti, memahami, dan berpikir, atau daya pikir untuk mengerti. Akal dalam pandangan Islam tidaklah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya (Nasution 1986:13).

Lafaz yang senada dengan akal adalah al-ra`y yang berarti pendapat dan pertimbangan. Orang yang memiliki pertimbangan dan pendapat yang bijaksana disebut dzu al-ra`y. Misalnya pendapat dan pertimbangan yang diambil Rasulullah ketika memilih tempat yang akan dijadikan lokasi perkemahan pada waktu perang Badar yang didasarkan kepada pertimbangan al-ra`y, bukan berasal dari wahyu (Hasan 1984:105).

Teolog muslim mengartikan akan sebagai daya untukmemperoleh pengetahuan. Abu Huzail (w.158 H), sebagaimana dikutip Harun Nasution, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda yang satu dengan benda lainnya (Nasution 1986:12). Sebagian tokoh Mu’tazilah mengartikan akan sebagai petunjuk jalan bagi manusia dan membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Nasution 1986:12). Secara tegas Qadhi Abdul Jabbar (w.415 H) merumuskan akal itu sebagai sekumpulan ilmu tertentu yang apabila dimiliki oleh seseorang manusia, maka ia akan dapat berfikir, mencari dalil dan melakukan apa yang dibebankan kepadanya (Zaineh 1978:31-32).

Adapun kata wahyu dalam bahasa aslinya dapat berarti isyarat, ilham, dan sebagainya (Ash-Shiddieqy 1977:24), dan biasanya didefinisikan dengan apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi-Nya. Dalam konteks ini, wahyu yang disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril mengambil bentuk al-Qur`an dengan menggunakan media bahasa Arab. Dengan kata lain, wahyu dalam Islam dipahami sebagai teks-teks Arab al-Qur`an yang diterima Nabi Muhammad SAW dari Jibril (Nasution 1986:12).

Kajian-kajian filosofis tentang akal dan wahyu terutama membicarakan otoritas dan peranan akal ketika berhadapan dengan wahyu. Dalam otoritas dipersoalkan derajat kebenaran yang diperoleh melalui penggunaan nalar, apakah ia sampai kepada kedudukan yang sama dengan wahyu atau berada di bawah wahyu. Kalau tingkat kebenaran yang diperoleh melalui akal atau nalar itu dipandang sama kedudukannya dengan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu, seperti apa fungsi akal dalam hal ini. Ketika kebenaran yang dihasilkan nalar dipandang lebih rendah daripada kebenaran yang diperoleh melalui wahyu, bagaimana pula fungsi nalar terhadap wahyu.

Bagi filosof muslim, hal ini telah diperdebatkan secara mendalam sehingga mengkristal ke dalam dua kubu; yaitu kubu yang sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran yang dihasilkan akal sama benarnya dengan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu; dan kubu yang meletakkan kebenaran yang diperoleh akal berada di bawah kebenaraan wahyu. Adapun dalam konteks ilmu kalam terdapat empat persoalan yang menjadi fokus pembahasan, yaitu mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk (al-Syahrastani 1934:371).

Dalam konteks kajian hukum Islam atau syariah, persoalan akal dipertanyakan, apakah akal mampu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kewajiban atau larangan tanpa melalui petunjuk-petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Masa sebelum datangnya wahyu tersebut disebut juga dengan zaman fitrah. Dalam kondisi demikian terjadi perbedaan pendapat ulama. Kelompok Mu’tazilah, yang tidak mengakui adanya fase fitrah, mereka mengatakan bahwa akal mampu untuk mengetahui baik dan buruknya sesuatu, maka ketika itu tetap ada taklif. Konsekwensinya, setiap orang akan mendapatkan pahala ketika ia berbuat baik, dan sebaliknya berdosa ketika ia berbuat buruk. Hal ini antara lain karena urusan pahaladan dosa adalah urusan akhirat, dan siapa yang lalai dari kewajiban-kewajibannya yang sebenarnya dapat diketahui oleh akalnya meskipun belum ada nash, maka ia tetap akan disiksa di akhirat.

Kelompok ulama Maturidiyah, walaupun mereka mengakui adanya fase fitrah dan akal mampu untuk mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, tetapi kemampuan akal terbatas. Oleh karena itu tidak semua hal yang baik dan buruk itu diketahui oleh akal. Namun sejauh mampu diketahui oleh akalnya, maka manusia harus melaksanakannya atau menjauhinya. Adapun berkenaan dengan pahala dan dosa menurut mereka bukanlah wewenang akal untuk menentukannya, tapi tetap diserahkan kepada Syari’ untuk menetapkannya.

Adapun kelompok Asy’ariyah yang juga mengakui adanya fase fitrah berbeda pemikiran dengan Maturidiyah. Mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, yang mampu membedakan baik dan buruk itu adalah wahyu. Dengan demikian tidak ada pahala dan dosa, dan tidak ada keharusan orang untuk mengerjakan sesuatu ataupun menjauhi sesuatu perbuatan.

Dari pendapat terakhir ini, wahyu merupakan pedoman untuk mengetahui suatu perbuatan dari sisi baik dan buruknya. Namun sesuai dengan perkembangan, di mana tidak semua aktifitas manusia ini disebutkan atau dijelaskan oleh wahyu, lalu apakah fungsi akal ketika wahyu sudah ada? Agaknya di sinilah letak permasalahan antara akal dengan wahyu ini. Apakah akal masih mampu secara mandiri menetapkan hukum atau hanya sebagai alat bantu dalam mengembangkan wahyu? Hal ini akan terasa setidaknya ketika hukum Islam berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai buah kemajuan produk pemikiran manusia modern.

Pemikiran ke arah ini pada akhirnya melahirkan ijtihad dengan berbagai metode di dalamnya. Secara garis besarnya terdapat dua model ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istinbathi, kerja akal biasanya dalam bentuk istiqra` (deduktif), yaitu mengeluarkan apa makna yang terkandung dalam nash, sehingga kebebasan akal sedikit tebatas. Berbeda halnya dengan ijtihad tathbiqi, kemampuan akal sangat diperhatikan dan harus sempurna, karena akal di sini dipergunakan untuk menerapkan sebuah ketentuan hukum yang sudah ada agar sesuai dengan kebutuhan manusia dan dapat menjamin lahirnya kemaslahatan.

Kemampuan akal yang terbatas dan berbeda-beda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainya menimbulkan pertanyaan apakah ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dapat terbebas dari kesalahan atau mungkin dapat dibenarkan seluruhnya? Hal ini pada akhirnya menimbulkan dua kecenderungan, yaitu teori mukhaththi`ah dan teori mushawwibah. Teori mukhaththi`ah adalah sebuah pengakuan bahwa atas kemungkinan terjadinya kesalahan dalam berijtihad, sedangkan teori mushawwibah menegasikan kesalahan dari hasil ijtihad ulama tersebut atau semua ijtihad itu adalah benar. Teori pertama dianut oleh kelompok ulama Syi’ah, sedangkan teori kedua dianut oleh umumnya ulama Sunni.

Secara logis dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang dijelaskan oleh nash jumlahnya terbatas, sedangkan persoalan-persoalan selalu tidak terbatas. Persoalan-persoalan yang tidak dijeaskan oleh nash tentu saja menjadi lapangan ijtihad bagi ulama. Sepertinya Syari’ memberikan ruang itu kepada mujtahid untuk beraktifitas dan menetapkan hukum sesuai dengan kemampuan akalnya untuk melahirkan sebuah kemaslahatan yang relevan dengan sasaran yang hendak dituju oleh hukum. Mengingat begitu banyaknya persoalan di dunia ini, tidak mungkin semuanya disebutkan oleh Allah dalam nash. Maka di sinilah peran mujtahid yang berusaha menemukan hukum sebagaimana yang dikehendaki dan diinginkan oleh Allah. Oleh karena itu hukum yang ditetapkan oleh mujtahid pada dasarnya juga merupakan hukum Allah, karena sumber pengambilannya dan penyandarannya juga kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur`an dan Sunnah.