Pengertian Fatwa dan Ifta’

Secara etimologi, fatwa berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan hukum. Kata fatwa ini berasal dari kata bahasa Arab “alfatwa”. Bentuk jamaknya adalah fatawin dan fatāway.[1] Dalam kitab Mafāhim Islāmiyyah diterangkan bahwa secara literal kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit.”[2] Sedangkan dalam kitab at-Targhib wa al-Tarhib, kata Futan dan Fatwa ialah dua kata nama yang digunakan dengan maksud al-ifta yaitu satu perbuatan mengenai fatwa yang dilakukan oleh Mufti memberi sesuatu hukum atau satu keputusan hukum yang dikeluarkan oleh faqih (seorang yang berpengetahuan luas dan mendalam di dalam perundangan Islam).[3]

Pengertian Fatwa dan Ifta’

Sedangkan secara terminologi, menurut Amir Syarifuddin fatwa adalah usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.[4] Dalam Ensiklopedi Islam, disebutkan bahwa fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.[5]
Fatwa berasal dari bahasa Arab ( فتوى ) yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[6]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.

Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.

Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa menduduki sebagai mufti. Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
  • Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
  • Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang ‘alim, maka ia dapat menunjukan dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan bohong.
  • Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak terjadi kesalahfahaman antara ia dan penerima fatwanya.
  • Seorang mufti haruslah seorang ‘alim yang memiliki kejujuran.[7]

Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dalam sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti az-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Ini adalah kitab kumpulan fatwa pertama.[8]

Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi’yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu’ al-Fatawa.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia, maka fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.[9]

Ifta` secara bahasa artinya jawaban pertanyaan hukum. Sedangkan secara istilah ifta` berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Maksud dari “tidak mengikat” adalah bahwa si peminta fatwa bisa menerima dan mengamalkan isi fatwa, atau bisa menolak dan tidak mengamalkannya. Orang atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menetapkan fatwa disebut sebagai Mufti.
Sedangkan orang atau pihak yang meminta fatwa disebut Mustafti, adapun jawaban hukum sebagai produknya disebut Mustafta fih atau fatwa.

Para ulama ahli ushul fiqih menyebut keempat hal tersebut yaitu ifta’, mufti, mustafti dan fatwa sebagai rukun fatwa. Keempat hal tersebut saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu mereka dinamakan rukun fatwa yang harus selalu ada. Fatwa sebagai produk hukum ada karena munculnya persoalan yang ditanyakan oleh mustafta, kemudian ada aktifitas ifta’ yang dilakukan oleh mufti sebagai respon terhadap pertanyaan mustafti. Ifta’ dilakukan dengan mengkaji dan membahas hukum suatu persoalan sampai ijtihad hukum. Oleh karena itu, seorang mufti harus memiliki kemampuan berijtihad atau istinbath hukum.

RUJUKAN

[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 308. Lihat juga dalam Ajip Rosjidi (ed.), Ensiklopedi Indonesia 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991, hlm. 994.
[2] Maktabah Syamilah, Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hlm. 240.
[3] Maktabah Syamilah, at-Targhib wa al-Tarhib, hlm.10
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 2, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 429.
[5] Abdul Aziz Dahlan dan Satria Effendi M. Zein (eds.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1, Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve, 1997, cet. Pertama, hlm. 326.
[6] Racmat Taufik Hidayat dkk., Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, h. 33
[7] Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Yogyakarta: Teras, 2009, h. 213
[8] Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan,Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
[9] Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan,Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.