Pengertian Pencurian

Pencurian atau dalam istilah bahasa Arab disebut dengan sirqah. Secara etimologi adalah berasal dari kata saraqa yasriqu saraqan, yang berarti mencuri, merampok, menculik, membajak, menjiplak, samar, tidak jelas.[1] Pengertian lain menjelaskan bahwa, sirqah adalah mengambil milik orang lain dengan jalan sembunyi-sembunyi. [2] Pencurian atau sirqah menurut syara’ adalah seorang yang sadar dan sudah dewasa mengambil harta orang lain dalam jumlah tertentu secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan, dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena syubhat.[3]


Imam Ibnu Rusydi merumuskan pencurian dengan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpadi percayakan kepadanya.[4] Keadaan sembunyi-sembunyi atau samar dimulai sejak awal pencurian sampai proses pencurian itu selesai, ketika pencurian tersebut dilakukan pada siang hari. Batasan waktu siang yaitu sampai waktu isya’. Ketika pencurian dilakukan malam hari maka, hanya pada awal proses pencurian yang disyaratkan sembunyi-sembunyi.[5]

Pengertian pencurian, secara etimologi menurut ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali adalah sama, yaitu seseorang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi atau samar.[6] Mencuri merupakan salah satu dosa besar yang diharamkan oleh Allah, dan pelakunya diancam dengan hadd potong tangan. Dalam hal ini ternyata tidak semua pencuri dikenai sanksi hadd kecuali telah mencapai satu nisab barang yang telah dicuri.[7] Menurut Moh. Anwar ditegaskan, bahwa kalau mengambil bukan untuk dimiliki namanya gashab, bukan sirqah, kalau mengambilnya secara terang-terangan dan memaksa, namanya merampok dan kalau dengan terang-terangan di jalan namanya membegal dan kalau tanpa paksaan serta di luar rumah, namanya mencopet.[8]

Abdul Qadir ‘Audah mendefinisikan pencurian sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, maksudnya mengambil harta orang lain secara sembunyi adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan pemiliknya.[9] Menurut Sayyid Sabiq, pencurian adalah mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi misalnya mencuri suara, karena mencuri suara dengan sembunyi-sembunyi dan dikatakan pula mencuri pandang karena memandang dengan sembunyi-sembunyi ketika yang dipandang lengah.[10]

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa unsur tindak pidana pencurian adalah:
  • Orang yang mencuri sudah dewasa dan tidak dipaksa.
  • Cara mengambil, yaitu secara sembunyi-sembunyi.
  • Harta yang diambil adalah milik orang lain, di ambil dari tempat penyimpanan selayaknya dan mencapai ukuran atau nishab.[11]

Dalam hukum Islam, bentuk-bentuk pencurian tidak keluar dari empat jenis ini (sirqah, ikhtilas, gashab dan merampas) para ulama’ pada umumnya menyebut dengan pencurian tanpa membedakan antara pencurian besar dan kecil. Ketika mereka berbicara tentang pencurian dan hukumnya, yang dimaksud adalah pencurian kecil. Mereka biasanya menyebut pencurian besar adalah dengan hirabah (merampok) atau qath’u al-Thariq (penyamun).

Dari beberapa pandangan pengertian di atas nampak sekali bahwa semua perbuatan mengambil barang orang lain dikatakan mencuri dan hanya perbuatan mencuri yang dikenakan sanksi hukuman pemotongan, begitu juga halnya dengan pengingkaran terhadap barang pinjaman, sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai tindakan mencuri dan oleh karena itu pencurinya tidak dikenakan sanksi potong tangan. Namun Ibnu Qayyim menganggap bahwa pengingkaran terhadap suatu barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri. Ia menganggap, itulah yang dikehendaki oleh syara’.[12]

RUJUKAN

[1] Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996, hlm. 1060.
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Surabaya: al-Haramain, 2001, hlm. 117.
[3] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 5, Kairo: Muassasah al-Mukhtar, 2000, hlm. 117.
[4] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasyid, Juz 2, Beirut-Libanon: Dar Ibnu Ashshashah, 2005, hlm. 366.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 6, Beirut- Libanon: Dar al-Fikr, 1985, hlm. 92.
[6] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa al-Ta’zirat inda Ibnu al-Qayyim, Beirut-Libanon: Dar al-‘Ashamah, 1995, hlm. 347.
[7] Asadullah al-Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 33.
[8] Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet-1, 1994, hlm. 363.
[9] Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, juz 2, Beirut-Libanon: Dar al-Katib al-Arabi, t. th., hlm. 514.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, Kairo: Dar al-Fath, 1995, hlm. 310.
[11] Ibid., hlm. 312.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 313.