Sunan Kalijaga Menjadi Wali

Sunan Kalijaga adalah seorang wali terkemuka, hingga disebut Waliyullah Tanah Jawi. Untuk sampai perjalannya menjadi wali, Sunan Kalijaga harus melalui proses yang sangat panjang. Bukan hanya perjalanan spiritual, tetapi juga menghadapi berbagai godaan dan rintangan.

Sunan Kalijaga Menjadi Wali


Raden Mas Sahid yang lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga itu menjadi anggota walisongo angkatan IV tahun 1463, Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota walisongo bersama Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Qosim (Sunan Drajat). Keempat orang tersebut berasal dari perguruan yang sama, juga belajar dalam waktu yang hampir sama, yaitu di Ampeldento pimpinan Sunan Ampel. Walaupun diangkat menjadi anggota Walisongo dalam waktu bersamaan dan diangkatnya Sunan Kalijaga atas usulan Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga merupakan ulama termuda yang diangkat menjadi wali , tetapi memiliki ilmu paling tinggi dan paling lama pula menjalankan dakwahnya. Pola dakwah yang dikembangkan mirip dengan guru sekaligus sahabatnya, Sunan Bonang. Kedua wali ini cendrung menganut faham sufistik berbasis salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Sunan Kalijaga memiliki kesenian dan kebudayaan sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah.

Berbeda dengan Sunan Bonang dan Sunan Giri dalam mengembangkan agama Islam, Sunan Kalijaga tidak membangun sebuah perguruan di tempat tinggalnya. Namun Sunan Kalijaga selalu mengembara di segala penjuru Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan sampai daerah Cirebon seperti seorang darwis. Di tempat-tempat tertentu Sunan Kalijaga mendidik kader pengembang umat yang tangguh. Hingga perguruan yang dimiliki Sunan Kalijaga tersebar di banyak tempat. Di antara perguruan murid Sunan Kalijaga yang sampai sekarang masih terlihat adalah perguruan yang diasuh oleh Ki Ageng Pandanaran di Tembayat, Klaten.

Sunan Kalijaga termasuk wali yang akomodatif terhadap unsur budaya Jawa. Terbukti Sunan Kalijga tidak menegur secara keras terhadap Sultan Hadiwijaya di Pajang dan Pemanahan di Mataram, yang mengubah kebijakan raja-raja Demak. Raja-raja Demak sangat keras terhadap paham yang melenceng dari hukum dan syariat Islam, sementara Pajang dan Mataram justru bersifat akomodatif. Sunan Kalijaga mempunyai kemampuan itu karena beliau adalah wali dan penasehat politik yang dituakan.


Sebagai waliyullah, Sunan Kalijaga termasuk orang yang dikasihi Allah, sebagaimana pengertian waliyullah adalah “kekasih Allah”, Oleh karena itu sebagimana lazimnya para wali, Sunan Kalijaga memiliki “karamah” pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang.

Di samping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar “Sunan” sebagaimana wali-wali yang lain. Menurut salah satu penafsiran, kata “Sunan” berasal dari bahasa Arab, kata jamak dari “sunnat” yang berarti tingkah laku, adat kebiasaan. Adapun tingkah laku yang dimaksud adalah yang serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebijakan menurut tuntunan agama Islam. Oleh karena itu, seorang sunan akan senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas mereka berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, memerintah atau mengajak ke arah kebaikan dan melarang perbuatan munkar.

Walaupun menjadi anggota walisongo, sesungguhnya ia termasuk golongan aba’ah, yaitu orang Islam yang tidak meragukan Syahadatain (dua kalimat syahadat), namun golongan ini tidak setia melaksanakan syariat yang dianggap sebagai ritual belaka. Karena Sunan Kalijaga termasuk golongan abaah ini, beliau menjadi lebih terkenal dibanding wali wali yang lain, khususnya wali yang asli Jawa atau bukan kelahiran Jawa. sebagai tokoh aba’ah atau abangan, Sunan Kalijaga mendapatkan banyak murid yang menjadi orang orang besar dan terkenal, dan punya peran khusus dalam penyebaran Islam.

Mereka itu antara lain: Joko Tingkir, Ki Ageng Pemanahan juru Martani, Penjawi, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Tembayat, Bathoro Katong atau Joko Katong, dan sebagainya.